Pages

Saturday 31 March 2012

Konsepsi Ilmu Budaya Dasar Dalam Kesusastraan

  • Pendekatan Kesusastraan

Secara etimologi (menurut asal-usul kata) kesusastraan berarti karangan yang indah. “sastra” (dari bahasa Sansekerta) artinya : tulisan, karangan. Akan tetapi sekarang pengertian “Kesusastraan” berkembang melebihi pengertian etimologi tersebut. Kata “Indah” amat luas maknanya. Tidak saja menjangkau pengertian-pengertian lahiriah tapi terutama adalah pengertian-pengertian yang bersifat rohaniah. Misalnya, bukankah pada wajah yang jelak orang masih bisa menemukan hal-hal yang indah.

Sebuah cipta sastra yang indah, bukanlah karena bahasanya yang beralun-alun dan penuh irama. Ia harus dilihat secara keseluruhan: temanya, amanatnya dan strukturnya. Pada nilai-nilai yang terkandung di dalam ciptasastra itu.

Ada beberapa nilai yang harus dimiliki oleh sebuah ciptasastra. Nilai-nilai itu adalah : Nilai-nilai estetika, nilai-nilai moral, dan nilai-nilai yang bersifat konsepsionil. Ketiga nilai tersebut sesungguhnya tidak dapat dipisahkan sama sekali. Sesuatu yang estetis adalah sesuatu yang memiliki nilai-nilai moral. Tidak ada keindahan tanpa moral. Tapi apakah moral itu? Ia bukan hanya semacam sopan santun ataupun etiket belaka. Ia adalah nilai yang berpangkal dari nilai-nilai tentang kemanusiaan. Tentang nilai-nilai yang baik dan buruk yang universil. Demikian juga tentang nilai-nilai yang bersifat konsepsionil itu. Dasarnya adalah juga nilai tentang keindahan yang sekaligus merangkum nilai tentang moral.



Nilai-nilai estetika kita jumpai tidak hanya dalam bentuk (struktur) ciptasastra tetapi juga dalam isinya (tema dan amanat) nya. Nilai moral akan terlihat dalam sikap terhadap apa yang akan diungkapkan dalam sebuah ciptasastra cara bagaimana pengungkapannya itu. Nilai konsepsi akan terlihat dalam pandangan pengarang secara keseluruhan terhadap masalah yang diungkapkan di dalam ciptasastra yang diciptakan.

Sebuah ciptasastra bersumber dari kenyataan-kenyataan yang hidup di dalam masyarakat (realitas-objektif). Akan tetapi ciptasastra bukanlah hanya pengungkapan realitas objektif itu saja. Di dalamnya diungkapkan pula nilai-nilai yang lebih tinggi dan lebih agung dari sekedar realitas objektif. Ciptasastra bukanlah semata tiruan daripada alam (imitation of nature) atau tiruan daripada hidup (imitation of life) akan tetapi ia merupakan penafsiran-penafsiran tentang alam dan kehidupan itu (interpretation of life).

Sebuah ciptasatra mengungkapkan tentang masalah-masalah manusia dan kemanusian. Tentang makna hidup dan kehidupan. Ia melukiskan penderitaan-penderitaan manusia, perjuangannya, kasih sayang dan kebencian, nafsu dan segala yang dialami manusia. Dengan ciptasastra pengarang mau menampilkan nilai-nilai yang lebih tinggi dan lebih agung. Mau menafsirkan tentang makna hidup dan hakekat kehidupan.

Dapat saja sebuah ciptasastra menceritakan tentang kehidupan binatang, seperti misalnya karyasastra yang besar ‘Pancatanteran” atau “Hikayat Kalilah dan Daminah”, namun sebetulnya manusia. Jadi sesungguhnya karya tersebut tetap mengungkapkan kehidupan manusia akan tetapi ditulis perlambang-perlambang.

Sebuah ciptasasra yang baik, mengajak orang untuk merenungkan masalah-masalah hidup yang musykil. Mengajak orang untuk berkontemplasi, menyadarkan dan membebaskan dari segala belenggu-belenggu pikiran yang jahat dan keliru. Sebuah ciptasastra mengajak orang untuk mengasihi manusia lain. Bahwa nasib setiap manusia meskipun berbeda-beda namun mempunyai persamaan-persamaan umum, bahwa mereka ditakdirkan untuk hidup, sedang hidup bukanlah sesuatu yang gampang tapi penuh perjuangan dan ancaman-ancaman. Ancaman-ancaman yang datang dari luar maupun yang datang dari dalam (diri sendiri).

Bahwa kemanusiaan itu adalah satu, “ Mankind is one”, dan sama di mana-mana. Inilah yang diungkapkan dan ingin dikatakan kesusastraan. Alangkah besar dan luasnya, bukan?

Jika disimpulkan maka “kesusastraan” adalah merupakan pengungkapan dari fakta artistik dan imajinatif sebagai manifestasi kehidupan manusia (dan masyarakat) melalui bahasa sebagai medium dan punya efek yang positif terhadap kehidupan manusia (kemanusiaan).

Ada dua daya yang harus dimiliki oleh seorang pengarang. Yakni daya kreatif dan daya imajinatif. Daya kreatif adalah daya untuk memciptakan hal-hal yang baru dan asli. Manusia penuh dengan seribu satu kemungkinan tentang dirinya. Maka seorang pengarang berusaha memperlihatkan kemungkinan tersebut, memperlihatkan masalah-masalah manusia yang substil dan bervariasi dalam ciptasatra-ciptasatra yang ia tulis. Sedang daya imajinasi adalah kemampuan membayangkan dan mengkhayalkan serta menggambarkan sesuatu atau peristiwa-peristiwa. Seorang pengarang yang memiliki daya imajinasi yang kaya ialah apabila ia mampu memperlihatkan dan menggambarkan kemungkinan-kemungkinan kehidupan dan masalah-masalah serta pilihan-pilihan dari alternatif yang mungkin dihadapi manusia. Kedua daya itu akan menentukan berhasil tidaknya sebuah ciptasastra.


  • Ilmu Budaya Dasar yang dihubung dengan prosa
Prosa

Prosa adalah suatu jenis tulisan yang dibedakan dengan puisi karena variasi ritme (rhythm) yang dimilikinya lebih besar, serta bahasanya yang lebih sesuai dengan arti leksikalnya. Kata prosa berasal dari bahasa Latin "prosa" yang artinya "terus terang". Jenis tulisan prosa biasanya digunakan untuk mendeskripsikan suatu fakta atau ide. Karenanya, prosa dapat digunakan untuk surat kabar, majalah, novel, ensiklopedia, surat, serta berbagai jenis media lainnya.prosa juga dibagi dalam dua bagian,yaitu prosa lama dan prosa baru,prosa lama adalah prosa bahasa indonesia yang belum terpengaruhi budaya barat,dan prosa baru ialah prosa yang dikarang bebas tanpa aturan apa pun.
Jenis-jenis prosa

Prosa biasanya dibagi menjadi empat jenis:

    * Prosa naratif
    * Prosa deskriptif
    * Prosa eksposisi
    * Prosa argumentatif
Prosa baru adalah karangan prosa yang timbul setelah mendapat pengaruh sastra atau budaya Barat. Bentuk-bentuk prosa baru adalah sebagai berikut:
Roman

Roman adalah bentuk prosa baru yang mengisahkan kehidupan pelaku utamanya dengan segala suka dukanya. Dalam roman, pelaku utamanya sering diceritakan mulai dari masa kanak-kanak sampai dewasa atau bahkan sampai meninggal dunia. Roman mengungkap adat atau aspek kehidupan suatu masyarakat secara mendetail dan menyeluruh, alur bercabang-cabang, banyak digresi (pelanturan). Roman terbentuk dari pengembangan atas seluruh segi kehidupan pelaku dalam cerita tersebut.

Berdasarkan kandungan isinya, roman dibedakan atas beberapa macam, antara lain sebagai berikut:

    * Roman transendensi, yang di dalamnya terselip maksud tertentu, atau yang mengandung pandangan hidup yang dapat dipetik oleh pembaca untuk kebaikan. Contoh: Layar Terkembang oleh Sutan Takdir Alisyahbana, Salah Asuhan oleh Abdul Muis, Darah Muda oleh Adinegoro.
    * Roman sosial adalah roman yang memberikan gambaran tentang keadaan masyarakat. Biasanya yang dilukiskan mengenai keburukan-keburukan masyarakat yang bersangkutan. Contoh: Sengsara Membawa Nikmat oleh Tulis St. Sati, Neraka Dunia oleh Adinegoro.
    * Roman sejarah yaitu roman yang isinya dijalin berdasarkan fakta historis, peristiwa-peristiwa sejarah, atau kehidupan seorang tokoh dalam sejarah. Contoh: Hulubalang Raja oleh Nur St. Iskandar, Tambera oleh Utuy Tatang Sontani, Surapati oleh Abdul Muis.
    * Roman psikologis yaitu roman yang lebih menekankan gambaran kejiwaan yang mendasari segala tindak dan perilaku tokoh utamanya. Contoh: Atheis oleh Achdiat Kartamiharja, Katak Hendak Menjadi Lembu oleh Nur St. Iskandar, Belenggu oleh Armijn Pane.
    * Roman detektif merupakan roman yang isinya berkaitan dengan kriminalitas. Dalam roman ini yang sering menjadi pelaku utamanya seorang agen polisi yang tugasnya membongkar berbagai kasus kejahatan. Contoh: Mencari Pencuri Anak Perawan oleh Suman HS, Percobaan Seria oleh Suman HS, Kasih Tak Terlerai oleh Suman HS.

Novel

Novel berasal dari Italia. yaitu novella ‘berita’. Novel adalah bentuk prosa baru yang melukiskan sebagian kehidupan pelaku utamanya yang terpenting, paling menarik, dan yang mengandung konflik. Konflik atau pergulatan jiwa tersebut mengakibatkan perobahan nasib pelaku. lika roman condong pada idealisme, novel pada realisme. Biasanya novel lebih pendek daripada roman dan lebih panjang dari cerpen. Contoh: Ave Maria oleh Idrus, Keluarga Gerilya oleh Pramoedya Ananta Toer, Perburuan oleh Pramoedya Ananta Toer, Ziarah oleh Iwan Simatupang, Surabaya oleh Idrus.
Cerpen

Cerpen adalah bentuk prosa baru yang menceritakam sebagian kecil dari kehidupan pelakunya yang terpenting dan paling menarik. Di dalam cerpen boleh ada konflik atau pertikaian, akan telapi hat itu tidak menyebabkan perubahan nasib pelakunya. Contoh: Radio Masyarakat oleh Rosihan Anwar, Bola Lampu oleh Asrul Sani, Teman Duduk oleh Moh. Kosim, Wajah yang Bembah oleh Trisno Sumarjo, Robohnya Surau Kami oleh A.A. Navis.
Riwayat

Riwayat (biografi), adalah suatu karangan prosa yang berisi pengalaman-pengalaman hidup pengarang sendiri (otobiografi) atau bisa juga pengalaman hidup orang lain sejak kecil hingga dewasa atau bahkan sampai meninggal dunia. Contoh: Soeharto Anak Desa, Prof. Dr. B.I Habibie, Ki Hajar Dewantara.
Kritik

Kritik adalah karya yang menguraikan pertimbangan baik-buruk suatu hasil karya dengan memberi alasan-alasan tentang isi dan bentuk dengan kriteria tertentu yang sifatnya objektif dan menghakimi.
Resensi

Resensi adalah pembicaraan / pertimbangan / ulasan suatu karya (buku, film, drama, dll.). Isinya bersifat memaparkan agar pembaca mengetahui karya tersebut dari ebrbagai aspek seperti tema, alur, perwatakan, dialog, dll, sering juga disertai dengan penilaian dan saran tentang perlu tidaknya karya tersebut dibaca atau dinikmati.
Esai

Esai adalah ulasan / kupasan suatu masalah secara sepintas lalu berdasarkan pandangan pribadi penulisnya. Isinya bisa berupa hikmah hidup, tanggapan, renungan, ataupun komentar tentang budaya, seni, fenomena sosial, politik, pementasan drama, film, dll. menurut selera pribadi penulis sehingga bersifat sangat subjektif atau sangat pribadi.
  • Nilai-nilai dalam prosa fiksi
Nilai-nilai dalam Cerpen

1) Nilai Moral

Seorang cerpenis atau pengarang cerpen, ketika menulis cerita, yang dipikirkan penulis selain bagaimana menuangkan ide-ide secara imajinatif ke dalam rangkaian cerita, juga memikirkan pesan-pesan moral. Karena menulis cerpen itu selain untuk mengibur, tentu saja memberi gambaran nilai-nilai kehidupan melalui tokoh-tokohnya, terutama nilai kemanuasiaan. Nilai-nilai kemanusian yang melekat melalui tokoh-tokohnya tentu saja nilai moral. Sebab moral itu merupakan adab, adat kebiasaan seseorang, dan prilaku baik atau buruk seseorang. Nilai moral biasanya dibentuk oleh etika, baik etika kolektif, maupun etika personal.

Moral dalam cerita pendek bisa dilihat dari etika normatif dan deskriptif. Artinya, ketika dalam cerita pendek terlihat moral yang menyesatkan, atau membuat gelisah pembacanya karena tidak beretika, maka ranah etika normatif dan deskriptif harus dikedepankan. Etika normatif parameter penilain adalah norma-norma di masyarakat, baik adat atau kebiasaan masyarakat, atau nilai-nilai yang berlaku di masyarakat yang tidak tertulis. Sedangkan etika deskriptif yang menjadi penilaiannya adalah hukum-hukum yang tertulis, baik hukum agama melui firman Tuhan, dan hukum negara berupa peraturan-peraturan atau yuridis yang dibuat oleh pemerintah.

2) Nilai Sosial

Cerpen merupakan gambaran kehidupan, tiruan kehidupan, atau mimesis kehidupan. Sebab itu, cerpen bisa disebut juga sebagai agen sosial. Sebagai agen sosial, tentu saja cerpen merupakan penyebar nilai-nilai sosial yang diketahui oleh pengarangnya sebagai bahan baku imajinasinya.

Seorang pengarang ketika mengolah imajinasinya untuk bahan cerita, tentu saja bermula dari keadaan sosial yang dilihatnya, dirasakannya, dan diketahuinya. Mustahil seorang pengarang membuat ceritanya mengabaikan fenomena sosial. Sebab pengarang menemukan ide ceritanya, memupuk imajinasinya, bermula karena melihat kenyataan sejarah, gejolak sosial, keadaan sosial, komunitas sosial, elemen sosial, dan simbol-simbol sosial yang ada.

Maka nilai-nilai yang timbul dalam cerpen dilihat dari unsur sosialnya adalah (1) tokoh-tokoh yang diciptakannya sebagai pelaku sosial; (2) keadaan ekonomi yang menggerakkan elemen sosial (simbol sosial); (3) konflik yang dibangun antartokoh sehingga cerita terasa utuh dan mimesis kehidupan; (4) idiologi tokoh-tokohnya; dan (5) sejarah perkembangan manusia yang dilihat digambarkan dalam cerita.


3) Nilai Budaya

            Cerita pendek bagian dari karya sastra, dan sebagai karya sastra tentu saja di dalamnya terdapat gambaran budaya, karena cerpen dibuat oleh makhluk berbudaya (manusia). Sebagai mahkluk berbudaya pengarang tahu benar tentang budaya di sekitanya, yang akan menjadi bumbu berharga pada karya sastra yang dibuatnya. Bumbu atau penyedap rasa berupa budaya itu bisa saja berupa mengenai hakikat hidup manusia, hakekat karya manusia, kedudukan manusia dalam ruang waktu, hubungan manusia dengan alamnya, dan hubungan manusia dengan manusia lagi.

            Pengarang ketika menulis karyanya, tentu saja akan berpijak pada sebuah peradaban yang dibangun dari wujud kebudayaan. Wujud kebudayaan menurut pedapat Koentjaraningrat (1994:5) terdiri dari tiga bagian:

a. wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan;

b. wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dan masyarakat; dan

c. wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.

            Dalam cerpen pun terdapat nilai-nilai kebudayaan sebagai pembangun tema, karakter tokoh, latar, alur, dan amanat. Nilai-nilai budaya yang bisa ditemukan berupa; 1)nilai kepercayaan manusia pada Tuhannya; 2) nilai kebiasaan dalam bentuk kolektif atau ketradisian;  3) nilai kemanusiaan sebagai alat bermasyarakat; 4) sikap berkomunikasi dalam mengkomunikasikan peradaban; 5) nilai estetika sebagai pencipta berkesenian; 6) nilai penghidupan untuk mempertahakan kehidupan; 7) nilai beradaban dan alat yang diciptakannya; dan 8) nilai politis sebagai alat bernegara.


4) Nilai Psikologi

Cerita pendek lahir dari angan-angan pengarangnya, imajinasi, hayalan, dan dari mimpi-mimpi pengarangnya. Karena pada dasarnya cerita pendek adalah karya rekaan, karya fiksional. Sebagai karya rekaan, tentu saja ide cerita itu bermain-main dahulu di benak pengarang; berhayal atau bermimpi, setelah melihat kenyataan, setelah merenungkan kehidupan, dan direalisasikan dalam cerita tersebut. Ketika cerita itu bergemuruh di hati pengarang, bermain-main di otaknya, maka yang berkerja adalah psikologi pengarang.

Tokoh-tokoh yang diciptakan pengarang, bisa saja mewakili psikologi pengarangnya, atau gejolak batinnya setelah mengalami, mendengar, merasakan, atau melihat fenomena yang di temukan di sekitar kehidupannya.  Tokoh-tokoh dalam cerita atau sudut pandang bisa saja mewakili gejolak jiwanya. Pengarang menciptakan orang dengan segala karakter dan kebiasaannya itu wakil dari gejolak batin serta olah imajinasi pengarangnya. Maka untuk lebih mengatahui unsur psikologi dalam cerita pendek harus mengetahui latar belakang kehidupan pengarangnya; baik pendidikannya, pekerjaannya, lingkungan hidupnya, dan karya-karya yang lainnya.

Parameter menilai cerpen dari unsur psikologi, tentu saja tidak bisa terlepas dari unsur intrinsik, yaitu penokohan dan karakteristiknya; alur cerita, dan sudut pandangnya. Karena apresiator harus mampu menganalisis (1) perkembangan jiwa tokohnya, (2) falsafah hidup tokohnya, (3) ide-ide pengarang, (4) perkembangan cerita yang menggerakkan tokohnya, (5) obsesi pengarang melalui pemilihan tokoh, dan (6)  konflik yang dibangun pengarang dalam cerita tersebut.


5) Nilai Religius

Cerita pendek, begitu juga karya sastra lainnya, lahir dari pergolakan batin pengarangnya, tentu saja akan melahirkan nilai-nilai spiritual yang dalam. Nilai-nilai spiritual itu bisa saja berupa nilai vertikal, artinya ada kaitan antara pencerita dengan nilai agama sebagai bahan baku spiritual. Seorang pengarang merasa “eling” dengan apa yang akan diciptakannya, merasa berkewajiban untuk menyambungkan “kasih sayang Tuhan”, maka walau pengarang tidak menjadi pendakwah, tetapi ada rasa ketuhanan yang dalam dalam spirit menulisnya. Misalnya ketika ingin membuat cerita tentang penderitaan seorang petani yang tertimpa musibah banjir, spirit ketuhanan akan muncul juga. Walaupun kelak apakah simbol Tuhan atau agama itu eksplisit atau implisit, terserah pengarang. Hanya, nilai kepercayaan bahwa Tuhan itu ada tetap akan terasa, sebab cerita harus mewujudkan sipat ideal, bermakna, dan menjadi bahan perenungan bagi pembacanya.

Tetapi perlu diingat, nilai religius dalam karya sastra tidak bisa dipisahkan dari unsur moral, didaktis, dan sosial. Sebab yang membentuk wujud kepercayaan pada Tuhan adalah adanya sosial atau interaksi antara manusia dengan manusia, yang akan membentuk kesatuan atau umat. Unsur moral akan membentuk pula bagaimana hubungan manusia dengan Tuhan secara utuh (kesalehan). Dan unsur didaktis atau ajaran merupakan spirit terpenting dalam pembentukan ketaqwaan atau kepercayaan pada Tuhan. Jadi, dalam cerpen bisa diapresiasi spiritual keagamaan yang membentuk pengkarakteran tokohnya, alur cerita, latar, dan amanat yang dikembangkannya untu ditangkap oleh pembaca.
 

6) Nilai Didaktis

            Dalam cerita pendek bisa saja ditemukan nilai hitam dan putih, bisa juga menggambarkan nilai hitam, atau memperlihatkan nilai putih. Nilai hitam atau putih dalam karya sastra disebut juga nilai didaktis, nilai yang mengandung unsur kebaikan sebagai tuntunan disebut nilai putih, dan nilai keburukan dalam hidup digambarkan nilai hitam. Paling terasa hitam dan putihnya cerita ada dalam cerita rakyat. Biasanya, yang berprilaku hitam akan mendapat hukuman, yang berprilaku putih akan mendapat ganjaran. Contoh dalam cerita rakyat Bawang Merah dan Bawang Putih, terlihat sekali nilai didaktisnya.

            Seorang pengarang tentu saja akan memperhatikan nilai didaktis dalam karyanya, sebab nilai didaktis, yakni pendidikan dan pengajaran, dapat mengantarkan pembaca kepada suatu arah tertentu. Oleh sebab itu karya sastra yang baik adalah karya sastra yang memperlihatkan tokoh-tokoh yang memiliki kebijaksanaan dan kearifan sehingga pembaca dapat mengambilnya sebagai teladan.

            Keteladan yang terdapat dalam cerita bisa berupa (1) ajaran kebaikan terdapat dalam cerita, (2) moral yang digambarkan, (3) falsafah hidup tokoh-tokohnya, (4) ganjaran yang diterima tokoh-tokohnya, (5) isme-isme yang mempengaruhi atau menggerakkan tokohnya, (6) kekalahan nilai keburukan, (7) keadaan pendidikan tokohnya yang digambarkan, dan (8) amanat di akhir cerita.

  • Ilmu Budaya Dasar yang dihubung dengan puisi
Puisi (dari bahasa Yunani kuno: ποιέω/ποιῶ (poiéo/poió) = I create) adalah seni tertulis di mana bahasa digunakan untuk kualitas estetiknya untuk tambahan, atau selain arti semantiknya.

Penekanan pada segi estetik suatu bahasa dan penggunaan sengaja pengulangan, meter dan rima adalah yang membedakan puisi dari prosa. Namun perbedaan ini masih diperdebatkan. Beberapa ahli modern memiliki pendekatan dengan mendefinisikan puisi tidak sebagai jenis literatur tapi sebagai perwujudan imajinasi manusia, yang menjadi sumber segala kreativitas. Selain itu puisi juga merupakan curahan isi hati seseorang yang membawa orang lain ke dalam keadaan hatinya.

Baris-baris pada puisi dapat berbentuk apa saja (melingkar, zigzag dan lain-lain). Hal tersebut merupakan salah satu cara penulis untuk menunjukkan pemikirannnya. Puisi kadang-kadang juga hanya berisi satu kata/suku kata yang terus diulang-ulang. Bagi pembaca hal tersebut mungkin membuat puisi tersebut menjadi tidak dimengerti. Tapi penulis selalu memiliki alasan untuk segala 'keanehan' yang diciptakannya. Tak ada yang membatasi keinginan penulis dalam menciptakan sebuah puisi. Ada beberapa perbedaan antara puisi lama dan puisi baru

Namun beberapa kasus mengenai puisi modern atau puisi cyber belakangan ini makin memprihatinkan jika ditilik dari pokok dan kaidah puisi itu sendiri yaitu 'pemadatan kata'. kebanyakan penyair aktif sekarang baik pemula ataupun bukan lebih mementingkan gaya bahasa dan bukan pada pokok puisi tersebut.

Didalam puisi juga biasa disisipkan majas yang membuat puisi itu semakin indah. Majas tersebut juga ada bemacam, salah satunya adalah sarkasme yaitu sindiran langsung dengan kasar.

Dibeberapa daerah di Indonesia puisi juga sering dinyanyikan dalam bentuk pantun. Mereka enggan atau tak mau untuk melihat kaidah awal puisi tersebut.




Referensi :
http://id.wikipedia.org/wiki/Puisi

1 comments:

Rahmi Imanda said...

teman jangan lupa yah masukin link gunadarmanya k dalam blog kamu. Sebagai salah satu mahasiswa gunadarma ayo donk masukin link gunadarmanya, misalkan:
www.gunadarma.ac.id
www.studentsite.gunadarma.ac.id
www.baak.gunadarma.ac.id
www.ugpedia.gunadarma.ac.id
:)

Post a Comment